Minggu, 05 Juli 2015

PERAN FARMASI DI DUNIA INDUSTRI

Berbicara mengenai farmasi tak henti-hentinya kita takjub dengan profesi yang satu ini.. Bagaimana tidak??? Profesi ini sangat berperan dalam proses penyembuhan suatu pasien (penderita penyakit) dengan obat-obatannya yang dirancang sedemikian rupa sehingga menghasilkan efek penyembuhan. Disinilah peran farmasi di RS atau Apotek yang langsung berkomunikasi dengan masyarakat. Disisi lain seorang farmasipun tak luput dari dunia proses pembuatan suatu obat yaitu industri. Di industri inilah farmasis mencurahkan segala kemampuan teknologi sediaannya dalam menghasilkan produk obat yang berkualitas. Sekarang sudah banyak kita jumpai pabrik-pabrik obat yang tersebar luas di Indonesia. Itu artinya sedikit demi sedikit Indonesia mulai berkembang dalam hal obat dan pengobatannya. Nah untuk lebih jelasnya mengenai apa-apa saja sih peran farmasi di industri kit abaca artikel dibawah ini yah.. Smoga bermanfaat guyss!!  
ü  Industri Farmasi
Industri farmasi adalah industri yang meliputi industri obat jadi dan industri bahan baku obat. Industri obat jadi adalah industri yang menghasilkan suatu produk yang telah melalui seluruh tahap proses pembuatan, sedangkan industri bahan baku obat adalah industri yang menghasilkan bahan baku yang diperlukan pada proses pembuatan suatu obat jadi. Proses pembuatan merupakan seluruh rangkaian kegiatan yang menghasilkan suatu obat yang meliputi produksi dan pengawasan mutu mulai dari pengadaan bahan awal, proses pengolahan, pengemasan, sampai obat jadi untuk distribusi.
Industri farmasi ada dua bentuk, yaitu primary industry dan secondary industry. Primary industry terfokus pada penemuan bahan-bahan obat baru (new drug substances), sedangkan secondary industry terfokus pada usaha pengelolaan bahan baku menjadi produk jadi. Saat ini, sebagian besar industri farmasi di Indonesia adalah secondary industry. Hal ini berkaitan dengan nilai investasi yang sangat tinggi, baik dalam bentuk biaya, fasilitas maupun waktu yang panjang. Meskipun demikian, kedua industri tersebut bertanggung jawab atas kualitas, keamanan dan khasiat obat yang diproduksinya. Hal ini terkait dengan hukum dan peraturan yang mengatur industri farmasi untuk melindungi konsumen melalui upaya pengadaan obat dengan kualitas, keamanan dan khasiat yang sesuai dengan ketentuan standar yang berlaku.
ü  Persyaratan Industri Farmasi 
Semua industri farmasi wajib memiliki izin untuk usaha, izin tersebut diperoleh dari Menteri Kesehatan melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Berdasarkan SK Menkes RI No.1191/Menkes/SK/IX/2002. Persyaratan yang harus dipenuhi industri farmasi untuk medapatkan izin usaha, yaitu:
1.     Dilakukan oleh perusahaan umum, badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau koperasi. Universitas Sumatera Utara
2.     Memiliki Rencana Investasi.
3.     Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
4.     Industri Farmasi Obat Jadi dan Bahan Baku Obat wajib memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).
5.     Industri Farmasi Obat Jadi dan Bahan Baku Obat wajib mempekerjakan secara tetap sekurang-kurangnya 2 (dua) orang Apoteker Warga Negara Indonesia masing-masing sebagai penanggung jawab produksi dan penanggung jawab pengawasan mutu sesuai dengan persyaratan CPOB.
6.     Obat Jadi yang diproduksi oleh Perusahaan Industri Farmasi hanya dapat diedarkan setelah memperoleh persetujuan sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. Setelah memperoleh izin usaha, terdapat beberapa kewajiban lain yang harus dilakukan oleh perusahaan yang telah memperoleh Izin Usaha Industri Farmasi, yaitu:
a.      Membuat laporan jumlah dan nilai produksinya sekali dalam 6 (enam) bulan. Sedangkan untuk laporan lengkap wajib disampaikan sekali dalam setahun.
b.     Menyalurkan produksinya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
c.      Melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian serta mencegah pencemaran lingkungan.
d.     Melaksanakan keamanan dan keselamatan alat, bahan baku, proses, hasil produksi, pengangkutan dan keselamatan kerja.
e.      Melakukan Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) berupa Upaya Pengelolaan  Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).  
ü  Peran, Fungsi dan Tugas Apoteker di Industri Farmasi 
Peran apoteker di industri farmasi seperti yang disarankan oleh World Health Organization (WHO), yaitu Eight Star of Pharmacist yang meliputi :
1.     Care Giver, apoteker sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk informasi obat, efek samping obat dan lain-lain kepada profesi kesehatan. Perlu ada interaksi dengan individu/kelompok di dalam industri (regulatory, QA/QC, produksi dll) dan individu/kelompok di luar industri.
2.     Decision maker, apoteker sebagai pengambil keputusan yang tepat untuk mengefisienkan dan mengefektifkan sumber daya yang ada di industri.
3.     Communicator, apoteker harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik secara lisan maupun tulisan.
4.     Leader, apoteker sebagai pemimpin yang berani mengambil keputusan dalam mengatasi berbagai permasalahan di industri dan memberikan bimbingan ke bawahannya dalam mencapai sasaran industri.
5.     Manager, apoteker sebagai pengelola seluruh sumber daya yang ada di industri farmasi dan mampu mengakumulasikannya untuk meningkatkan kinerja industri dari waktu ke waktu.
6.     Long-life learner, apoteker belajar terus menerus untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan.
7.     Teacher, bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan dan pelatihan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dunia industri kepada sejawat apoteker atau lainnya.
8.     Researcher, apoteker sebagai peneliti yang harus selalu melakukan riset dan mengetahui perkembangan obat baru yang lebih baik dan bermanfaat untuk kesehatan masyarakat. Peran tersebut diterapkan di dalam fungsi-fungsi industrial yang diperlukan, yaitu manajemen produksi, pemastian/manajemen mutu (Quality Assurance), Universitas Sumatera Utara registrasi produk, pemasaran produk (Product Manager), dan pengembangan produk (Research and Development).
ü  Apoteker sebagai Penanggung Jawab Produksi
Penanggungjawab produksi (kepala bagian produksi/ manajer produksi) hendaklah seorang apoteker yang terdaftar dan terkualifikasi, memperoleh pelatihan yang sesuai, memiliki pengalaman praktis paling sedikit 5 tahun bekerja di bagian produksi pabrik farmasi, memiliki pengalaman dan pengetahuan di bagian pembuatan obat dan perencanaan produksi, pengetahuan mengenai peralatan yang digunakan dalam pembuatan obat, CPOB, penguasaan bahasa asing yang baik, serta keterampilan dalam kepemimpinan yanag dibuktikan dengan sertifikasi lembaga yang ditunjuk. Manajer produksi bertanggungjawab atas terselenggaranya pembuatan obat agar obat tersebut memenuhi persyaratan kualitas yang ditetapkan dan dibuat dengan memperhatikan pelaksanaan CPOB, dalam batas waktu dan biaya produksi yang ditetapkan.
Secara rinci, ruang lingkup tugas dan tanggung jawab seorang penanggungjawab produksi adalah sebagai berikut:
ü  Bertanggungjawab dalam memastikan bahwa obat diproduksi dan disimpan sesuai prosedur sehingga memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan.
ü  Bertanggung jawab atas terlaksananya pembuatan obat dari perolehan bahan, pengolahan, pengemasan, sampai pengiriman obat ke gudang jadi.
ü  Memberikan pengarahan teknis dan administratif untuk semua pelaksanaan operasi di gudang, penimbangan, pengolahan, dan pengemasan.
ü  Bersama-sama dengan manajer perencanaan dan pengadaan bahan menyusun rencana produksi.
ü  Bertanggung jawab memeriksa catatan pengolahan bets dan catatan pengemasan bets serta menjamin bahwa produksi dilaksanakan sesuai dengan prosedur pengolahan bets dan prosedur pengemasan bets.
ü  Berdiskusi dengan manajer pengawasan mutu jika ada kegagalan Universitas Sumatera Utara
ü  Bertanggung jawab atas peralatan yang digunakan dalam proses produksi, peralatan yang digunakan harus selalu dikualifikasi dan divalidasi dengan benar.
ü  Ikut membantu pelaksanaan inspeksi CPOB dan menjaga pelaksanaan serta pematuhan terhadap peraturan CPOB.
ü  Bertanggung jawab atas kebersihan di daerah produksi.
ü  Bertanggung jawab untuk menjaga moral kerja yang tinggi, kemampuan pengembangan, dan pelatihan serta melakukan evaluasi tahunan atas semua karyawan yang dibawahinya.
ü  Membuat laporan bulanan.
ü  Membuat anggaran tahunan untuk bagian produksi.
ü  Mengusahakan perbaikan biaya produksi.
ü  Menjaga hubungan kerja yang baik dengan Penanggungjawab Pengawasan Mutu, Teknik dan Perencanaan dan Pengadaan Bahan serta Pemasaran.
ü  Berhubungan dengan pemerintah, dalam hal ini Pengawas Obat dan Makanan berkaitan dengan kualitas obat. Kepala Bagian Produksi hendaknya selalu menjaga hubungan kerja yang baik dengan Manajer Pengawasan Mutu, Manajer Pemastian Mutu, Manajer Teknik, Manajer Perencanaan dan Pengadaan Bahan serta Manajer Pemasaran. Berhubungan baik dengan pemerintah, dalam hal ini Pengawas Obat dan Makanan sehubungan dengan kualitas obat.
Penjelasan tadi cukup menggambarkan farmasi di industri bukan?? Hebat!! Semoga artikel diatas dapat menambah wawasan teman-teman mengenai farmasi dan lebih menambah semangat farmasis dalam berinovasi demi teruwujudnya Indonesia yang sehat dan cerdas. Terima kasih J


BCS (Biopharmaceutical Classification System)

Apa sih itu BCS? Penting gak sih kita sebagai farmasis mempelajarinya? Nah untuk menjawab semua pertanyaan tersebut yuk disimak dibawah ini...!!

Ø Definisi BCS (Biopharmaceutical Classification System) 
                  BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika adalah suatu model eksperimental yang mengukur permeabilitas dan kelarutan suatu zat dalam kondisi tertentu. Sistem ini dibuat  untuk pemberian obat secara oral. Untuk melewati studi bioekivalen secara in vivo, suatu obat harus memenuhi persyaratan kelarutan dan permeabilitas yang tinggi (Bethlehem, 2011).
                  Bioavaibilitas obat merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai efektifitas suatu sediaan farmasi. Kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna merupakan faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas. Sistem dispersi padat dan sistem penghantaran obat mukoadhesif merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna (Sutriyo dkk., 2007).

Ø Tujuan dan Konsep BCS
     Tujuan dari BCS adalah (Reddy dkk., 2011) :
a.  Untuk meningkatkan efisiensi pengembangan obat dan proses peninjauan dengan merekomendasikan strategi untuk mengidentifikasi uji bioekivalensi.
b. Untuk merekomendasikan kelas pelepasan cepat  dari  bentuk sediaan padat oral yang secara bioekivalensi dapat dinilai berdasarkan uji disolusi in vitro.
c.  Untuk merekomendasikan suatu metode untuk klasifikasi yang sesuai dengan disolusi bentuk sediaan dengan karakteristik kelarutan dan permeabilitas produk obat.

Ø Klasifikasi BCS
Nah BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika diklasifikasikan menjadi empat kelas guyss, diantaranya adalah :
1. Kelas I (Permeabilitas tinggi, Kelarutan tinggi
Misalnya Metoprolol, Diltiazem, Verapamil, Propranolol. Obat kelas I menunjukkan penyerapan yang tinggi dan disolusi yang tinggi. Senyawa ini umumnya sangat baik diserap. Senyawa Kelas I diformulasikan sebagai produk dengan pelepasan segera, laju disolusi umumnya melebihi pengosongan lambung.
Oleh karena itu, hampir 100% penyerapan dapat diharapkan jika setidaknya 85% dari produk larut dalam 30 menit dalam pengujian disolusi in vitro dalam berbagai nilai pH, oleh karena itu data bioekivalensi in vivo tidak diperlukan untuk menjamin perbandingan produk (Wagh dkk., 2010).
2.Kelas II (Permeabilitas tinggi, Kelarutan rendah)
Misalnya Fenitoin, Danazol, Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedipine. Obat kelas II memiliki daya serap yang tinggi tetapi laju disolusi rendah. Dalam disolusi obat secara in vivo maka tingkat penyerapan terbatas kecuali dalam jumlah  dosis yang sangat tinggi. Penyerapan obat untuk kelas II biasanya lebih lambat daripada kelas I dan terjadi selama jangka waktu yang lama. Korelasi in vitro-in vivo (IVIVC) biasanya diterima untuk obat kelas I dan kelas II. Bioavailabilitas produk ini dibatasi oleh tingkat pelarutnya. Oleh karena itu, korelasi antara bioavailabilitas in vivo dan in vitro dalam solvasi dapat diamati (Reddy dkk., 2011).
3.Kelas III (Permeabilitas rendah, Kelarutan tinggi)
Misalnya Simetidin, Acyclovir, Neomycin B, Captopril. Permeabilitas obat berpengaruh pada tingkat penyerapan obat, namun obat ini mempunyai laju disolusi sangat cepat. Obat ini menunjukkan variasi yang tinggi dalam tingkat penyerapan obat. Karena pelarutan yang cepat, variasi ini disebabkan perubahan permeabilitas membran fisiologi dan bukan faktor bentuk sediaan tersebut. Jika formulasi tidak mengubah permeabilitas atau waktu durasi pencernaan, maka  kriteria kelas I dapat diterapkan (Reddy dkk., 2011).
4.Kelas IV (Permeabilitas rendah, Kelarutan rendah)
5.Misalnya taxol, hydroclorthiaziade, furosemid. Senyawa ini  memiliki bioavailabilitas yang buruk. Biasanya mereka tidak diserap dengan baik dalam mukosa usus. Senyawa ini tidak hanya sulit untuk terdisolusi tetapi sekali didisolusi, sering menunjukkan permeabilitas yang terbatas di mukosa GI. Obat ini cenderung sangat sulit untuk diformulasikan (Wagh dkk., 2010).

Ø  Kelas yang Digunakan dalam BCS
Batas kelas yang digunakan dalam BCS diantaranya adalah (Dash dkk., 2011) :
1.      Suatu obat dianggap sangat larut ketika kekuatan dosis tertinggi yang larut dalam ≤ 250 ml air pada rentang pH 1 sampai 7,5.
2.      Suatu obat dianggap sangat permeabel ketika tingkat penyerapan pada manusia ≥ 90% dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada keseimbangan massa atau dibandingkan dengan dosis pembanding intravena.
3.      Suatu produk obat dianggap cepat melarut ketika ≥ 85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit menggunakan alat disolusi I atau II dalam volume ≤ 900 ml larutan buffer.

Ø Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biopharmaceutical Classification System (BCS)
     Faktor-faktor yang mempengaruhi BCS diantaranya adalah :
1.    Laju disolusi
Dalam pedoman ini, suatu produk obat dikatakan cepat melarut jika tidak kurang dari 85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit, menurut US Pharmacopeia (USP) alat disolusi I pada 100 rpm (atau alat disolusi II pada 50 rpm) dalam volume 900 ml atau kurang di setiap media seperti HCl 0,1 N atau cairan lambung buatan tanpa enzim, larutan buffer pH 4,5, larutan buffer pH 6,8 atau cairan usus buatan tanpa enzim (Wagh dkk., 2010).
2.    Kelarutan
Tujuan dari pendekatan BCS adalah untuk menentukan kesetimbangan kelarutan suatu obat  dalam kondisi pH fisiologis. Profil kelarutan terhadap pH suatu obat uji harus ditentukan pada 37 ± 1oC dalam media air dengan rentang pH 1-7,5. Kondisi pH untuk penentuan kelarutan dapat didasarkan pada karakteristik ionisasi obat uji. Misalnya, ketika pKa obat berada  di kisaran 3-5, kelarutan harus ditentukan pada pH = pKa, pH = pKa +1, pH = pKa-1, dan pada pH = 1 dan 7,5. Minimal dilakukan tiga kali percobaan. Larutan buffer standar yang dijelaskan dalam USP dapat digunakan dalam studi kelarutan. Jika buffer ini tidak cocok untuk alasan fisik atau kimia, larutan penyangga lainnya dapat digunakan. PH larutan harus diverifikasi setelah penambahan obat untuk buffer (Wagh dkk., 2010).
3.    Permeabilitas
Permeabilitas didasarkan langsung pada tingkat penyerapan usus suatu obat pada manusia atau tidak langsung pada pengukuran laju perpindahan massa melintasi membran usus manusia.
Suatu obat dikatakan sangat permeabel ketika tingkat penyerapan pada manusia adalah 90% atau lebih dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada keseimbangan massa atau dibandingkan dengan dosis pembanding intravena (Reddy dkk., 2011).

Dari tujuan dan penggambaran diatas mengenai BCS sudah jelas kan bahwa BCS ini dikembangkan guna pengembangan obat yang ditinjau kelarutan dan permeabilitasnya dalam tubuh.. Wahh keren yah guyss :) 

DAFTAR PUSTAKA

Bethlehem. 2011. Biopharmaceutical Classification System and Formulation Development. Technical Brief 2011 Volume 9. 

Sutriyo., Rachmat, Hasan., & Rosalina, Mita. 2007. Pengembangan Sediaan dengan Pelepasan Dimodifikasi Mengandung Furosemid sebagai Model zat aktif Menggunakan Sistem Mukoadhesif. Majalah Ilmu Kefarmasian, 5(1), 1-8.

Reddy, Kumar., & Karunakar. 2011. Biopharmaceutics Classification System: A Regulatory Approach. Dissolution Technologies, 31-37.

Wagh P., Millind., & Patel, Jatis. 2010. Biopharmaceutical Classification System: Scientific Basis for Biowaiver Extensions. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical sciences, 2(1), 12-19.


Dash, Vikash., & Kesari, Asha. 2011. Role of Biopharmaceutical Classification System In Drug Development Program. Journal of Current Pharmaceutical, 5 (1), 28-31.