Minggu, 05 Juli 2015

BCS (Biopharmaceutical Classification System)

Apa sih itu BCS? Penting gak sih kita sebagai farmasis mempelajarinya? Nah untuk menjawab semua pertanyaan tersebut yuk disimak dibawah ini...!!

Ø Definisi BCS (Biopharmaceutical Classification System) 
                  BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika adalah suatu model eksperimental yang mengukur permeabilitas dan kelarutan suatu zat dalam kondisi tertentu. Sistem ini dibuat  untuk pemberian obat secara oral. Untuk melewati studi bioekivalen secara in vivo, suatu obat harus memenuhi persyaratan kelarutan dan permeabilitas yang tinggi (Bethlehem, 2011).
                  Bioavaibilitas obat merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai efektifitas suatu sediaan farmasi. Kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna merupakan faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas. Sistem dispersi padat dan sistem penghantaran obat mukoadhesif merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna (Sutriyo dkk., 2007).

Ø Tujuan dan Konsep BCS
     Tujuan dari BCS adalah (Reddy dkk., 2011) :
a.  Untuk meningkatkan efisiensi pengembangan obat dan proses peninjauan dengan merekomendasikan strategi untuk mengidentifikasi uji bioekivalensi.
b. Untuk merekomendasikan kelas pelepasan cepat  dari  bentuk sediaan padat oral yang secara bioekivalensi dapat dinilai berdasarkan uji disolusi in vitro.
c.  Untuk merekomendasikan suatu metode untuk klasifikasi yang sesuai dengan disolusi bentuk sediaan dengan karakteristik kelarutan dan permeabilitas produk obat.

Ø Klasifikasi BCS
Nah BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika diklasifikasikan menjadi empat kelas guyss, diantaranya adalah :
1. Kelas I (Permeabilitas tinggi, Kelarutan tinggi
Misalnya Metoprolol, Diltiazem, Verapamil, Propranolol. Obat kelas I menunjukkan penyerapan yang tinggi dan disolusi yang tinggi. Senyawa ini umumnya sangat baik diserap. Senyawa Kelas I diformulasikan sebagai produk dengan pelepasan segera, laju disolusi umumnya melebihi pengosongan lambung.
Oleh karena itu, hampir 100% penyerapan dapat diharapkan jika setidaknya 85% dari produk larut dalam 30 menit dalam pengujian disolusi in vitro dalam berbagai nilai pH, oleh karena itu data bioekivalensi in vivo tidak diperlukan untuk menjamin perbandingan produk (Wagh dkk., 2010).
2.Kelas II (Permeabilitas tinggi, Kelarutan rendah)
Misalnya Fenitoin, Danazol, Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedipine. Obat kelas II memiliki daya serap yang tinggi tetapi laju disolusi rendah. Dalam disolusi obat secara in vivo maka tingkat penyerapan terbatas kecuali dalam jumlah  dosis yang sangat tinggi. Penyerapan obat untuk kelas II biasanya lebih lambat daripada kelas I dan terjadi selama jangka waktu yang lama. Korelasi in vitro-in vivo (IVIVC) biasanya diterima untuk obat kelas I dan kelas II. Bioavailabilitas produk ini dibatasi oleh tingkat pelarutnya. Oleh karena itu, korelasi antara bioavailabilitas in vivo dan in vitro dalam solvasi dapat diamati (Reddy dkk., 2011).
3.Kelas III (Permeabilitas rendah, Kelarutan tinggi)
Misalnya Simetidin, Acyclovir, Neomycin B, Captopril. Permeabilitas obat berpengaruh pada tingkat penyerapan obat, namun obat ini mempunyai laju disolusi sangat cepat. Obat ini menunjukkan variasi yang tinggi dalam tingkat penyerapan obat. Karena pelarutan yang cepat, variasi ini disebabkan perubahan permeabilitas membran fisiologi dan bukan faktor bentuk sediaan tersebut. Jika formulasi tidak mengubah permeabilitas atau waktu durasi pencernaan, maka  kriteria kelas I dapat diterapkan (Reddy dkk., 2011).
4.Kelas IV (Permeabilitas rendah, Kelarutan rendah)
5.Misalnya taxol, hydroclorthiaziade, furosemid. Senyawa ini  memiliki bioavailabilitas yang buruk. Biasanya mereka tidak diserap dengan baik dalam mukosa usus. Senyawa ini tidak hanya sulit untuk terdisolusi tetapi sekali didisolusi, sering menunjukkan permeabilitas yang terbatas di mukosa GI. Obat ini cenderung sangat sulit untuk diformulasikan (Wagh dkk., 2010).

Ø  Kelas yang Digunakan dalam BCS
Batas kelas yang digunakan dalam BCS diantaranya adalah (Dash dkk., 2011) :
1.      Suatu obat dianggap sangat larut ketika kekuatan dosis tertinggi yang larut dalam ≤ 250 ml air pada rentang pH 1 sampai 7,5.
2.      Suatu obat dianggap sangat permeabel ketika tingkat penyerapan pada manusia ≥ 90% dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada keseimbangan massa atau dibandingkan dengan dosis pembanding intravena.
3.      Suatu produk obat dianggap cepat melarut ketika ≥ 85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit menggunakan alat disolusi I atau II dalam volume ≤ 900 ml larutan buffer.

Ø Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biopharmaceutical Classification System (BCS)
     Faktor-faktor yang mempengaruhi BCS diantaranya adalah :
1.    Laju disolusi
Dalam pedoman ini, suatu produk obat dikatakan cepat melarut jika tidak kurang dari 85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit, menurut US Pharmacopeia (USP) alat disolusi I pada 100 rpm (atau alat disolusi II pada 50 rpm) dalam volume 900 ml atau kurang di setiap media seperti HCl 0,1 N atau cairan lambung buatan tanpa enzim, larutan buffer pH 4,5, larutan buffer pH 6,8 atau cairan usus buatan tanpa enzim (Wagh dkk., 2010).
2.    Kelarutan
Tujuan dari pendekatan BCS adalah untuk menentukan kesetimbangan kelarutan suatu obat  dalam kondisi pH fisiologis. Profil kelarutan terhadap pH suatu obat uji harus ditentukan pada 37 ± 1oC dalam media air dengan rentang pH 1-7,5. Kondisi pH untuk penentuan kelarutan dapat didasarkan pada karakteristik ionisasi obat uji. Misalnya, ketika pKa obat berada  di kisaran 3-5, kelarutan harus ditentukan pada pH = pKa, pH = pKa +1, pH = pKa-1, dan pada pH = 1 dan 7,5. Minimal dilakukan tiga kali percobaan. Larutan buffer standar yang dijelaskan dalam USP dapat digunakan dalam studi kelarutan. Jika buffer ini tidak cocok untuk alasan fisik atau kimia, larutan penyangga lainnya dapat digunakan. PH larutan harus diverifikasi setelah penambahan obat untuk buffer (Wagh dkk., 2010).
3.    Permeabilitas
Permeabilitas didasarkan langsung pada tingkat penyerapan usus suatu obat pada manusia atau tidak langsung pada pengukuran laju perpindahan massa melintasi membran usus manusia.
Suatu obat dikatakan sangat permeabel ketika tingkat penyerapan pada manusia adalah 90% atau lebih dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada keseimbangan massa atau dibandingkan dengan dosis pembanding intravena (Reddy dkk., 2011).

Dari tujuan dan penggambaran diatas mengenai BCS sudah jelas kan bahwa BCS ini dikembangkan guna pengembangan obat yang ditinjau kelarutan dan permeabilitasnya dalam tubuh.. Wahh keren yah guyss :) 

DAFTAR PUSTAKA

Bethlehem. 2011. Biopharmaceutical Classification System and Formulation Development. Technical Brief 2011 Volume 9. 

Sutriyo., Rachmat, Hasan., & Rosalina, Mita. 2007. Pengembangan Sediaan dengan Pelepasan Dimodifikasi Mengandung Furosemid sebagai Model zat aktif Menggunakan Sistem Mukoadhesif. Majalah Ilmu Kefarmasian, 5(1), 1-8.

Reddy, Kumar., & Karunakar. 2011. Biopharmaceutics Classification System: A Regulatory Approach. Dissolution Technologies, 31-37.

Wagh P., Millind., & Patel, Jatis. 2010. Biopharmaceutical Classification System: Scientific Basis for Biowaiver Extensions. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical sciences, 2(1), 12-19.


Dash, Vikash., & Kesari, Asha. 2011. Role of Biopharmaceutical Classification System In Drug Development Program. Journal of Current Pharmaceutical, 5 (1), 28-31.

0 komentar:

Posting Komentar