BCS (Biopharmaceutical Classification
System)
Apa sih itu BCS? Penting gak sih kita sebagai farmasis mempelajarinya? Nah untuk menjawab semua pertanyaan tersebut yuk disimak dibawah ini...!!
Ø Definisi BCS (Biopharmaceutical
Classification System)
BCS (Biopharmaceutical
Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika adalah suatu
model eksperimental yang mengukur permeabilitas dan kelarutan suatu zat dalam
kondisi tertentu. Sistem ini dibuat
untuk pemberian obat secara oral. Untuk melewati studi bioekivalen
secara in vivo, suatu obat harus memenuhi persyaratan kelarutan dan
permeabilitas yang tinggi (Bethlehem, 2011).
Bioavaibilitas obat merupakan
salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai efektifitas suatu
sediaan farmasi. Kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas. Sistem dispersi padat
dan sistem penghantaran obat mukoadhesif merupakan salah satu cara yang dapat
digunakan untuk mengatasi permasalahan kecepatan disolusi dan waktu tinggal
obat dalam saluran cerna (Sutriyo dkk., 2007).
Ø Tujuan
dan Konsep BCS
Tujuan
dari BCS adalah (Reddy dkk., 2011) :
a. Untuk
meningkatkan efisiensi pengembangan obat dan proses peninjauan dengan
merekomendasikan strategi untuk mengidentifikasi uji bioekivalensi.
b. Untuk
merekomendasikan kelas pelepasan cepat
dari bentuk sediaan padat oral
yang secara bioekivalensi dapat dinilai berdasarkan uji disolusi in vitro.
c. Untuk
merekomendasikan suatu metode untuk klasifikasi yang sesuai dengan disolusi
bentuk sediaan dengan karakteristik kelarutan dan permeabilitas produk obat.
Ø Klasifikasi
BCS
Nah BCS
(Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi
biofarmasetika diklasifikasikan menjadi empat kelas guyss, diantaranya adalah :
1. Kelas
I (Permeabilitas tinggi, Kelarutan tinggi
Misalnya Metoprolol, Diltiazem,
Verapamil, Propranolol. Obat kelas I menunjukkan penyerapan yang tinggi dan
disolusi yang tinggi. Senyawa ini umumnya sangat baik diserap. Senyawa Kelas I
diformulasikan sebagai produk dengan pelepasan segera, laju disolusi umumnya
melebihi pengosongan lambung.
Oleh
karena itu, hampir 100% penyerapan dapat diharapkan jika setidaknya 85% dari produk
larut dalam 30 menit dalam pengujian disolusi in vitro dalam berbagai nilai pH,
oleh karena itu data bioekivalensi in vivo tidak diperlukan untuk menjamin
perbandingan produk (Wagh dkk., 2010).
2.Kelas
II (Permeabilitas tinggi, Kelarutan rendah)
Misalnya Fenitoin, Danazol,
Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedipine. Obat kelas II memiliki daya serap yang
tinggi tetapi laju disolusi rendah. Dalam disolusi obat secara in vivo maka
tingkat penyerapan terbatas kecuali dalam jumlah dosis yang sangat tinggi. Penyerapan obat
untuk kelas II biasanya lebih lambat daripada kelas I dan terjadi selama jangka
waktu yang lama. Korelasi in vitro-in vivo (IVIVC) biasanya diterima untuk obat
kelas I dan kelas II. Bioavailabilitas produk ini dibatasi oleh tingkat pelarutnya.
Oleh karena itu, korelasi antara bioavailabilitas in vivo dan in vitro dalam
solvasi dapat diamati (Reddy dkk., 2011).
3.Kelas
III (Permeabilitas rendah, Kelarutan tinggi)
Misalnya Simetidin, Acyclovir,
Neomycin B, Captopril. Permeabilitas obat berpengaruh pada tingkat penyerapan
obat, namun obat ini mempunyai laju disolusi sangat cepat. Obat ini menunjukkan
variasi yang tinggi dalam tingkat penyerapan obat. Karena pelarutan yang cepat,
variasi ini disebabkan perubahan permeabilitas membran fisiologi dan bukan
faktor bentuk sediaan tersebut. Jika formulasi tidak mengubah permeabilitas
atau waktu durasi pencernaan, maka
kriteria kelas I dapat diterapkan (Reddy dkk., 2011).
4.Kelas
IV (Permeabilitas rendah, Kelarutan rendah)
5.Misalnya
taxol, hydroclorthiaziade, furosemid. Senyawa ini memiliki bioavailabilitas yang buruk.
Biasanya mereka tidak diserap dengan baik dalam mukosa usus. Senyawa ini tidak
hanya sulit untuk terdisolusi tetapi sekali didisolusi, sering menunjukkan
permeabilitas yang terbatas di mukosa GI. Obat ini cenderung sangat sulit untuk
diformulasikan (Wagh dkk., 2010).
Ø Kelas
yang Digunakan dalam BCS
Batas kelas yang digunakan dalam BCS diantaranya adalah (Dash
dkk., 2011) :
1.
Suatu obat dianggap sangat larut
ketika kekuatan dosis tertinggi yang larut dalam ≤ 250 ml air pada rentang pH 1
sampai 7,5.
2.
Suatu obat dianggap sangat
permeabel ketika tingkat penyerapan pada manusia ≥ 90% dari dosis yang
diberikan, berdasarkan pada keseimbangan massa atau dibandingkan dengan dosis
pembanding intravena.
3.
Suatu produk obat dianggap cepat
melarut ketika ≥ 85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit
menggunakan alat disolusi I atau II dalam volume ≤ 900 ml larutan buffer.
Ø Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Biopharmaceutical Classification System (BCS)
Faktor-faktor yang
mempengaruhi BCS diantaranya adalah :
1.
Laju disolusi
Dalam
pedoman ini, suatu produk obat dikatakan cepat melarut jika tidak kurang dari
85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit, menurut US
Pharmacopeia (USP) alat disolusi I pada 100 rpm (atau alat disolusi II pada 50
rpm) dalam volume 900 ml atau kurang di setiap media seperti HCl 0,1 N atau
cairan lambung buatan tanpa enzim, larutan buffer pH 4,5, larutan buffer pH 6,8
atau cairan usus buatan tanpa enzim (Wagh dkk., 2010).
2.
Kelarutan
Tujuan
dari pendekatan BCS adalah untuk menentukan kesetimbangan kelarutan suatu
obat dalam kondisi pH fisiologis. Profil
kelarutan terhadap pH suatu obat uji harus ditentukan pada 37 ± 1oC
dalam media air dengan rentang pH 1-7,5. Kondisi pH untuk penentuan kelarutan
dapat didasarkan pada karakteristik ionisasi obat uji. Misalnya, ketika pKa
obat berada di kisaran 3-5, kelarutan
harus ditentukan pada pH = pKa, pH = pKa +1, pH = pKa-1, dan pada pH = 1 dan
7,5. Minimal dilakukan tiga kali percobaan. Larutan buffer standar yang
dijelaskan dalam USP dapat digunakan dalam studi kelarutan. Jika buffer ini
tidak cocok untuk alasan fisik atau kimia, larutan penyangga lainnya dapat
digunakan. PH larutan harus diverifikasi setelah penambahan obat untuk buffer
(Wagh dkk., 2010).
3.
Permeabilitas
Permeabilitas
didasarkan langsung pada tingkat penyerapan usus suatu obat pada manusia atau
tidak langsung pada pengukuran laju perpindahan massa melintasi membran usus
manusia.
Suatu obat dikatakan sangat
permeabel ketika tingkat penyerapan pada manusia adalah 90% atau lebih dari
dosis yang diberikan, berdasarkan pada keseimbangan massa atau dibandingkan
dengan dosis pembanding intravena (Reddy dkk., 2011).
Dari tujuan dan penggambaran diatas mengenai BCS sudah jelas kan bahwa BCS ini dikembangkan guna pengembangan obat yang ditinjau kelarutan dan permeabilitasnya dalam tubuh.. Wahh keren yah guyss :)
DAFTAR PUSTAKA
Bethlehem. 2011. Biopharmaceutical
Classification System and Formulation Development. Technical Brief 2011 Volume
9.
Sutriyo., Rachmat, Hasan., &
Rosalina, Mita. 2007. Pengembangan Sediaan dengan Pelepasan Dimodifikasi
Mengandung Furosemid sebagai Model zat aktif Menggunakan Sistem Mukoadhesif. Majalah
Ilmu Kefarmasian, 5(1), 1-8.
Reddy, Kumar., & Karunakar.
2011. Biopharmaceutics Classification System: A Regulatory Approach. Dissolution
Technologies, 31-37.
Wagh P., Millind., & Patel,
Jatis. 2010. Biopharmaceutical Classification System: Scientific Basis for
Biowaiver Extensions. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical
sciences, 2(1), 12-19.
Dash, Vikash., & Kesari, Asha. 2011.
Role of Biopharmaceutical Classification System In Drug Development Program.
Journal of Current Pharmaceutical, 5 (1), 28-31.
0 komentar:
Posting Komentar